DARI kejauhan, bangunan
itu tampak seperti benteng yang dilengkapi mercusuar tinggi menjulang.
Posisinya di tepi Jalan Raya Madinah-Mekkah, Distrik Dzulhulaifah, 9 Km dari
Masjid Nabawi. Bangunan berdinding tinggi tersebut menghadap ke sebuah bukit
yang dipisahkan oleh jalan bebas hambatan. Itulah Masjid Miqat Bir Ali.
Pada setiap musim haji, masjid ini keberadaannya
cukup penting. Jemaah calon haji gelombang I dari Indonesia yang menuju
Madinah, sebelum akhirnya beranjak ke Makkah dipastikan harus singgah lebih
dulu di Bir Ali. Di masjid ini para jemaah memulai berniat haji sembari
mengenakan kain ikhram dan dilanjutkan salat 2 rekaat
Setelah itu, mereka kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan menuju Makkah.
Di masa Nabi Muhammad SAW, Masjid Miqat Bir Ali cukup penting dan memiliki
sejarah panjang.
Pembangunan masjid ini bermula ketika Rasulullah SAW berteduh (dan menjalankan
salat) di bawah pohon sejenis akasia di Lembah ’Aqiq, daerah Dzulhulaifah. Nabi
melakukan itu ketika dalam perjalanan menuju Makkah. Belakangan, di sana, di
tempat pohon itu berdiri, dibangunlah sebuah masjid. Kisah inilah yang membuat
Masjid Bir Ali akrab dengan sebutan Masjid Syajarah (Pohon).
Masjid itu pun disebut Bir Ali lantaran Ali bin Abi Thalib pernah membuat sumur
(bi’r). ”Bahkan, berdasarkan sejarah, Ali bin Abi Thalib tak hanya membuat satu
sumur, tetapi banyak. Oleh karena itu, sebagian orang menyebut masjid ini
sebagai Abyar (jamak dari kata bi’r) Ali,” kata Ketua Sektor Bir Ali PPIH Arab
Saudi, Deni Hudaeny Achmad Arifin, baru-baru ini. Sayang, kini, sumur-sumur itu
tak lagi berbekas.
Selain itu, masjid tersebut pun dikenal sebagai Masjid Dzulhulaifah (merujuk
pada distrik tempatnya berada) serta Masjid Ihram dan Masjid Almiqat. Dua nama
terakhir ini mengacu pada fungsi masjid sebagai <I>miqat makani<P>
(niat berihram) bagi jemaah calon haji yang akan menuju Makkah dari arah
Madinah.
Setelah zaman Rasulullah, masjid dirombak pada masa Umar bin Abdulaziz saat
menjabat sebagai Gubernur Madinah (87-93 hijriah). Renovasi kedua dilakukan
Zaini Zainuddin Alistidar pada 861 Hijriah (1456 Masehi). Selanjutnya, pada
masa Dinasti Utsmaniah, tepatnya tahun 1090 Hijriah (1679 Masehi), Masjid Bir
Ali kembali direnovasi.
Ketika memerintah Arab Saudi (1981-2005), Raja Fahd bin Abdulaziz --yang
mengikrarkan diri sebagai khaadimulharamain (pelayan dua Tanah Suci)-- merombak
Masjid Bir Ali secara besar-besaran. Konon, ia mengeluarkan dana sebesar 170
juta riyal untuk itu.
Menggunakan karya arsitek ternama Abdulwahid Alwakil, jadilah kini Masjid Bir
Ali nan megah dengan berukuran 26.000 meter persegi. Berdiri di atas lahan
seluas 90.000 meter persegi dan mampu menampung hingga 5.000 jemaah. Selain
itu, lahan seluas 34.000 meter di antaranya digunakan untuk jalan, areal
parkir, pepohonan dan paviliun.
Dalam desain, Alwakil membuat komposisi bangunan masjid berprofil tinggi yang
dikelilingi benteng berprofil rendah. Ia mengaku terinspirasi oleh tradisi
masyarakat setempat. Di bagian atap, ia membubuhkan kubah. Selain itu, di salah
satu sudut bangunan masjid, ia menambahkan menara setinggi 64 meter yang mirip
sekali dengan mercusuar. Masjid ini pun dilengkapi 512 toilet dan 566
kamar mandi. Sementara lahan parkir di sekitarnya mampu menampung 500 kendaraan
kecil dan 80 kendaraan besar.
Kini hampir setiap waktu Masjid Bir Ali banyak disinggahi jemaah haji untuk
salat dan berniat haji. Mereka datang dari semua penjuru, termasuk Indonesia.
Labbaiik allaahumma labbaiik...